girl

girl

Selasa, 06 Mei 2014

Makalah Kebudayaan “PELA GANDONG” di Provinsi Maluku

MAKALAH
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
(Kebudayaan “PELA GANDONG” di Provinsi Maluku )



OLEH  :

ARANSCA. VANESSA. L
13007



AKADEMI TEKNIK ELEKTROMEDIK
ANDAKARA JAKARTA


KATA PENGANTAR


Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar dengan judul “Kebudayaan PELA GANDONG di Provinsi Maluku” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih kepada Bpk Deddy.N selaku Dosen mata kuliah ISBD yang telah memberikan kesempatan kepada penulis, untuk membuat makalah ini, sebagai pedoman, acuan, dan sumber pembelajaran.
Akhir kata, penulis sebagai penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan baik dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang kurang tepat dalam makalah  ini, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya.

















DAFTAR ISI


Kata Pengantar        ......................................................................................
Daftar isi                    ......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN  
1.    Latar Belakang         .............................................................................
2.    Rumusan Masalah ..............................................................................
3.    Tujuan                       ............................................................................. 

BAB II PEMBAHASAN
A.   Sejarah Pela Gandong       ..................................................................
B.   Pengertian Pela Gandong ..................................................................
C.   Jenis jenis Pela Gandong.....................................................................
D.   Manfaat membangun perdamaian melalui Pela Gandong...............
    
BAB III KESIMPULAN
A.   Kesimpulan  ........................................................................................
B.   Saran             ........................................................................................


Daftar pustaka          .........................................................................................

  









BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar belakang

Maluku merupakan salah satu provinsi bahari di Indonesia karena sembilan puluh persen dari luas daerahnya merupakan lautan. Sebagian besar masyarakat Maluku hidup sebagai nelayan. Sehingga Maluku merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia.
Komoditi perikanan menjadi salah satu komoditi unggulan. Dengan kekayaan laut itu maka muncul pasar ikan sebagai tempat jual beli ikan yang selalu ramai setiap harinya.
Persepsi masyarakat tentang pasar ikan adalah tempat yang kotor dan bau sehingga pembeli tidak merasa nyaman untuk berbelanja. Tanpa disadari kekayaan laut merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki yang seharusnya dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Selain itu Maluku memiliki budaya leluhur yang masih dipegang teguh dalam masyarakatnya.

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan maslah pada makalah ini adalah.
1.         Kapan munculnya Pela Gandong di Maluku?
2.         Apa itu Pela Gandong ?
3.         Apa saja jenis jenis Pela Gandong ?
4.         Apa manfaat dari Pela Gandong di Maluku?

C.    Tujuan.
Adapun tujuan yang di capai dalam rumusan masalah adalah:
1.         Mengetahui sejarah Pela Gandong di Maluku.
2.         Mengetahui pengertian Pela Gandong di Maluku
3.         Mengetahui jenis jenis Pela Gandong di Maluku
4.         Mengetahui manfaat dari Pela Gandong di Maluku.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah pela gandong

Ada satu kebudayaan khas di tanah Maluku, khususnya di Maluku Tengah, yang tidak dapat dijumpai di belahan bumi Indonesia lainnya. Kebudayaan tersebut dikenal dengan sebutan pela gandong. Pela gandong ini kerap menjadi kebanggaan masyarakat Maluku sejak dulu hingga sekarang. Pela diartikan sebagai suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama yang berbeda, sedangkan gandong sendiri bermakna adik. Perjanjian ini kemudian diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah berlangsung, campuran soppi (tuak) dan darah yang diambil dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pihak yang bersangkutan setelah senjata dan alat-alat tajam lain dicelupkan ke dalamnya.

Adapun empat hal pokok yang mendasari pela yaitu: negeri-negeri yang berpela berkewajiban untuk saling membantu pada kejadian genting (perang, bencana alam). Apabila diminta, maka negeri yang satu wajib memberikan bantuan kepada negeri lain yang hendak melaksanakan proyek kepentingan umum, seperti pembangunan sekolah, masjid, atau gereja. Apabila seseorang sedang mengunjungi negeri yang berpela itu, maka orang-orang di negeri itu wajib untuk memberi makanan kepadanya dan tamu yang sepela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang hasil bumi atau buah-buahan yang menjadi kesukaannya; karena penduduk negeri-negeri yang berhubungan pela itu dianggap sedarah, maka dua orang yang sepela tersebut dilarang untuk menikah.
Bagi orang-orang yang melanggar segala ketentuan tersebut, konon katanya akan mendapatkan hukuman dari nenek moyang yang mengikrarkan pela. Sebagai contoh, seseorang ataupun keturunannya dapat jatuh sakit atau bahkan meninggal bila melanggar ketentuan itu. Jika ada yang melanggar pantangan untuk menikah, maka mereka akan ditangkap untuk kemudian disuruh berjalan mengelilingi negeri-negerinya dengan hanya berpakaian daun-daun kelapa, sedangkan seluruh penghuni negeri akan mencaci makinya.
Ada beberapa alasan mengapa pela gandong ini cukup kental di Maluku Tengah. Dari segi antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar yaitu pulau Seram dan pulau Buru, kemudian bermigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease/Uliaser(pulau Haruku, pulau Saparua, dan pulau Nusalaut) dan pulau Ambon . Migrasi ini kemudian memberi dampak terhadap terjadinya asimilasi kebudayaan baru(kebudayaan Seram) yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya yaitu kebudayaan Melanesia, Melayu, Ternate , dan Tidore.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah Maluku Tengah memiliki satu kebudayaan yang sama. Kemudian, jika ditelusuri dari segi historisnya, para migran yang kebanyakan berdiam di pegunungan ini lantas dipindahkan ke pesisir pantai oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka pengawasan. Bukan hanya itu, Belanda juga mengganti nama komunitas-komunitas migran yang disebut Hena atau Aman, dengan istilah Negeri. Struktur pemerintahan di dalam Negeri diatur menyerupai struktur pemerintahan di Belanda. Dengan struktur pemerintahan tersebut, maka negeri-negeri menjadi ”negara-negara” kecil dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh raja yang diangkat dari marga-marga tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri dibagi-bagi untuk seluruh marga dalam komunitas negeri.
Dalam perkembangannya secara sosio-historis, negeri-negeri ini kemudian mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Anak Negeri Salam dan Anak Negeri Sarani. Anak Negeri Salam adalah penduduk yang beragama Islam dan Anak Negeri Sarani adalah penduduk yang beragama Kristen. Laki-laki yang beragama Islam biasa dipanggil dengan sebutan ‘abang’ dan perempuannya dipanggil “caca”, sedangkan laki-laki yang beragama Kristen dipanggil dengan sebutan “bu” dan perempuannya dipanggil “usi”. Kultur seperti ini memperlihatkan adanya suatu kecenderungan yang akan mengentalkan solidaritas kelompok, tetapi pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah pela gandong sebagai suatu pola manajemen konflik tradisional guna mengatasi kerentanan konflik.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa pela gandong sebetulnya bukan merupakan suatu kebudayaan lokal penduduk Maluku sendiri, melainkan suatu produk hasil asimilasi kebudayaan di Maluku Tengah. Peran pemerintah kolonial Belanda juga cukup besar dalam pengembangan pela gandong ini sehingga banyak yang mengatakan bahwa kebudayaan ini hanyalah bentuk rekayasa mereka pada saat ingin menguasai rempah-rempah di tanah Maluku. Hal ini cukup beralasan bila ditelusuri lebih jauh lagi dari segi historis. Menurut sejarah awalnya, Maluku merupakan sebuah jasirah dengan hasil alam yang berlimpah ruah dan berpenduduk mayoritas Muslim. Pada saat Belanda menginvasi Maluku, umat Muslim di tanah ini lantas menentang dengan keras.
Perlawanan bersenjata kemudian dilancarkan oleh raja-raja dan sultan-sultan yang berada di Maluku, antara lain Raja Leihitu, Raja Leitimu, Sultan Ternate, Sultan Tidore, Sultan Khairun, Sultan Baabullah, dan lain-lain. Karena adanya perlawanan yang sengit ini, maka Belanda mulai melancarkan politik “Devide et Impera” atau politik pecah belah. Belanda sendiri masuk ke Maluku dengan membawa tiga misi, yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Gold adalah misi Belanda untuk mengambil seluruh kekayaan alam di Maluku, Glory untuk mendapatkan kemuliaan di mata masyarakat di Eropa, dan Gospel membawa misi untuk menyebarkan agama.
Misi yang terakhir ini berhasil menyebabkan masyarakat Maluku yang awalnya mayoritas Muslim menjadi terpengaruh dan kemudian terpecah dua : Muslim dan Kristen (Anak Negeri Salam dan Anak Negeri Sarani). Karena adanya sentimen kelompok, maka perkelahian antara Negeri Muslim dan Negeri Kristen pun kerap terjadi. Agar dapat diterima oleh seluruh komunitas masyarakat Maluku, maka pemerintah Belanda pun mulai mengembangkan kebudayaan pela gandong. Untuk memperluas jajahannya, Belanda kemudian mempengaruhi masyarakat Maluku yang pro kepadanya untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan jalan membentuk pela gandong dengan daerah baru yang Muslim.
Namun, terlepas dari kesemuanya itu, di tengah beragamnya komunitas yang berada di Maluku dan potensi konflik di dalamnya saat ini, tampaknya pela gandong cukup dapat berperan sebagai peredam yang mampu meminimalisir gejolak sosial bernuansa primordial. Sentimen antar kelompok dapat tereliminasi dengan kearifan budaya dan kepentingan ekonomi yang substitusional sehingga konflik sosial dapat diminimalisir.



























B.   Pengertian Pela

Pela berasal dari kata "Pila" yang berarti "buatlah sesuatu untuk bersama". Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi "pilatu", artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. sedangkan gandong sendiri bermakna adik. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa PELA adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antaradua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitu pun susah dirasakan bersama .


Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minum darah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pelaini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya

C.   Jenis Jenis Pela Gandong

Pada dasaranya, terdapat tiga jenis Pela yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.            Pela Keras. Timbulnya Pela ini dilatar belakangi oleh suatu kejadian atau peristiwa yang sangat penting untuk melawan peperangan atau pertumpahan darah. Atau pula berbentuk bantuan khusus dari suatu negeri kepada negeri lain.
2.            Pela Gandong atau Bungso yang timbul karena adanya ikatan dan hubungan keturunan, artinya diantara pemimpin/raja satu negeri dan negeri lainnya memiliki hubungan keturunan, ataupun diantara beberapa keluarga di satu negeri dan di negeri lain menganggap diri mereka sebagai satu garis keturunan.
3.            Pela Tempat Sirih, timbulnya pela ini setelah terjadinya suatu peristiwa yang kurang begitu penting, atau karena suatu negeri berjasa terhadap negeri lain dalam hal perdagangan maupun perdamaian.

Pela Keras dan Pela Gandong memiliki kekuatan yang sama kuat karena perjanjian ini ditetapkan dengan sumpah disertai kutukan dahsyat yang pasti dan akan tertimpa oleh salah satu pihak yang melanggar perjanjian tersebut. Terkadang perjanjian/mengangkat sumpah itu dilakukan dengan cara memateraikan dan mengambil darah dari tubuh pemimpin kedua belah fihak kemudian meminumnya. Hubungan Pela ini dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua masyarakat kedua negeri yang berlangsung terus-menerus dan dijunjung tinggi sebagai suatu perjanjian suci.  Adapun hal-hal asasi yang menjadi ikatan dari perjanjian Pela ini adalah :
1.    Kewajiban setiap negeri yang ber-Pela untuk saling membantu pada saat genting dan mendesak, misalnya; bencana alam dan peperangan.
2.    Jika diminta bantuan demi kepentingan kesejahteraan umum, maka negeri yang menjadi Pela wajib memberi bantuan kepada negeri yang membutuhkan, misalnya; pembangunan rumah, sekolah dan tempat-tempat beribadah.
3.    Apabila seseorang dari negeri Pela berkunjung, maka negeri yang menjadi Pela harus melayani dan memberi makan kepadanya dan ia tidak perlu untuk meminta izin membawa pulang makanan dan buah-buahan.
4.    Semua penduduk negeri yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah sehingga tidak diperbolehkan untuk kawin, kecuali pada Pela Tempat Sirih.

System Pela ini masih berlaku di beberapa daerah/negeri di Maluku karena rasa persatuan dan identitas bersama yang disadari dan dihayati serta diwariskan secara turun-temurun sebagai suatu perjanjian suci yang harus terus dilestarikan dalam menciptakan perdamaian di Maluku. Berkat system Pela ini, pertentangan maupun konflik antar agama semakin dapat diminimalkan.
Sejarah telah mencatat bahwa sebelum konflik agama yang terjadi di Maluku beberapa tahun silam, kerukunan antara umat beragama sangatlah kental, terlihat dari banyaknya pembangunan mesjid, gereja dan sekolah dibangun karena mendapat bantuan dari negeri Pela, baik berupa bantuan tenaga kerja, bahan bangunan, uang ataupun makanan bagi pekerja sehingga pembangunan itu dapat berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Dan pada saat konflik terjadi, negeri-negeri yang ber-Pela seperti; negeri Siri-Sori Islam dan negeri Haria atau antara negeri Laha dan negeri Amahusu tidak menganggapnya sebagai suatu konflik dan tidak akan melanggar perjanjian para leluhur.
Untuk tetap menjaga dan menciptakan perdamaian di Maluku, maka budaya Pela-Gandong ini senantiasa dilestarikan dengan cara menyadarkan dan menghidupkannya kembali melalui generasi muda melalui bantuan dari orang tua maupun pemerintah daerah untuk mendukung dan merespon segala kegiatan maupun upacara-upacara adat diantara Pela-gandong yang ada di negeri seribu pulau ini.







D.   Manfaat membangun perdamaian melalui Pela Gandong

Julukan Seribu Pulau yang disandang oleh Maluku adalah suatu kepatutan, selain sebagai provinsi kepulauan juga terpendam di dalamnya seribu pesona dan beragam adat istiadat, budaya dan 117-130 bahasa lokal dari suku-suku maupun sub-suku yang ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi cultural, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai modal dasar kebersamaan dan persaudaraan dalam menciptakan perdamaian  di Maluku, diantaranya adalah Pela-Gandong.

Pela merupakan suatu relasi perjanjian antara satu negeri dengan negeri lain baik yang terjalin antara negeri-negeri sedaratan dan berlainan pulau, juga antara etnis dan agama yang berbeda. Hubungan Pela ini mempunyai efek yang sangat penting dimana semua masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan dan menjaga hubungan tersebut.
Sebagai suatu system hubungan perjanjian atau sekutu, hubungan Pela ini telah ada sebelum bangsa Eropa mendaratkan kaki di Maluku. Hubungan ini kemudian dipererat kembali pada abad ke-16 dan 17 dalam rangka memperkuat pertahanan daerah atas serangan-serangan yang dilancarakan oleh bangsa Portugis dan Belanda. Sejak saat itu, bermunculan banyaknya Pela baru untuk melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan perang Pattimura pada awal abad ke-19, dan hingga kini Pela-pela itu masih berada dan dan tetap dipertahankan.





BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan

Berbicara masalah ragam seni budaya Indonesia pasti tidak akan pernah ada habisnya. Mengingat begitu banyaknya ragam seni budaya yang terdapat mulai dari Sabang sampai Merauke. Pulau-pulau  di Indonesia dengan berbagai macam suku bangsa yang semuanya memiliki ragam seni budaya masing-masing. Tapi semua terangkum menjadi satu yaitu sebuah ragam seni budaya yang ber- “BHINEKA TUNGGAL IKA”  dengan menunjukkan adat ketimuran dan berazaskan Pancasila.

Jadi tidak mustahil jika banyak hasil cipta rasa dan karya dalam berbagai adat dan ragam seni budaya yang dimiliki bangsa Indonesia ini selalu dilirik oleh bangsa lain.


B.      Saran
           
            Kaya akan ragam seni budaya sudah semestinya Indonesia berbangga, maka sudah selayaknya bagi bangsa dan masyarakat negeri ini untuk melestarikan dan menjaga ragam seni budaya yang ada di Indonesia ini. Karena kalau bukan kita sendiri, siapa lagi...?






DAFTAR PUSTAKA



2.    http://www.google.com, Pela gandong





Tidak ada komentar:

Posting Komentar